Sakratul
maut merupakan sebuah peristiwa luar biasa berat yang dihadapi oleh
setiap manusia. Biasanya, keadaan sakratul maut yang dihadapi oleh
seseorang ditentukan oleh amal perbuatannya selama hidup di dunia. Bagi
orang-orang yang hidupnya penuh dengan maksiat, dapat dipastikan orang
tersebut akan menghadapi sakratul maut dengan berat dan menyakitkan.
Tetapi, bagi orang yang selama hidupnya taat beribadah kepada Allah swt,
insya Allah sakaratul maut yang dihadapinya lebih ringan.
Cerita ini merupakan kisah nyata yang saya dapatkan dari seorang kawan
saya yang bekerja di rumah sakit di Jawa Timur, Ia bernama Abdul Ghofur.
Di rumah sakit tersebut Ghofur bekerja sebagai pembimbing rohani yang
bertugas memberikan bimbingan agama Islam kepada para pasien. Salah satu
tugasnya adalah menemani dan membimbing orang-orang yang sedang
mengalami sakratul maut.
Menurut, certanya ini merupakan
pengalaman unik satu-satunya yang pernah ia temui selama dua tahun
bertugas membimbing orang-orang sakit dan orang-orang yang sedang
mengalami sakratul maut. Ghofur meminta kepada penulis untuk mengganti
nama pasien dan merahasiakan nama daerah kejadian.
Pada suatu
pagi di tahun 1999 yang lalu, seperti biasa, Ghofur pergi kerumah sakit
tempatnya bekerja. Rupanya, hari itu datang seorang pasien baru, yang
bernama Romi. Pasien tersebut menderita penyakit Leukimia yang sudah
parah. Menurut keluarganya, sebelum dibawa kerumah sakit Romi sudah satu
bulan dirawat di rumahnya. Karena semangkin hari sakit yang dideritanya
semakin parah, para tetangga memberikannya saran kepada keluarganya
agar secepatnya membawa Romi ke rumah sakit.
Sampai dirumah
sakit, Romi langsung dirawat di ruang ICU, tubuhnya yang besar tampak
pucat dan lemah, tetapi sorot matanya seolah tidak mau diam. Dihidungnya
terpasang pipa oksigen, dan tangannya terpasang pipa infus.
Seperti para pasien lainnya, beberapa jam setelah Ia masuk rumah sakit
dan mendapatkan perawatan secukupnya dari para dokter, Romi mendapat
bimbingan agama Islam dari rumah sakit itu. Kebetulan Ghofur lah yang
mendaptkan tugas membimbing laki-laki yang bertubuh besar itu. Ketika
pertama kali Ghofur mendatangi Romi. Romi sudah menunjukan sikap yang
kurang bersahabat, tidak seperti pasien lain yang selalu merasa senang
didatangi petugas rumah sakit. Ghofur sempat merasa sedikit takut
melihat wajah pasien yang tidak sedikitpun memberikan senyum kepadanya.
Apa lagi ketika Ghofur melihat sekujur tubuh lelaki itu dipenuhi dengan
berbagai gambar tato. Sisa-sisa bekas tato yang keras dan besarpun masih
sedikit tampak pada tubuh itu, seolah memberi isyarat siapa laki-laki
itu sebenarnya.
Setelah mengucapkan salam dan memperkenalkan
diri, Ghofur pun mulai memberikan bimbingan agama Islam kepada Romi.
“Sebagai sesama muslim saya hanya mengingatkan, banyak-banyaklah
berdo’a, sebab semua penyakit itu datangnya dari Allah, sehingga hanya
Allahlah yang mampu mencabut kembali. Jangan lupa pula beristigfar. Kita
sebagai manusia tentu tidak luput dari segala dosa dan kesalahan.
Mudah-mudahan saja dengan istigfar Allah mau mengampuni dosa-dosa yang
pernah kita perbuat,” ucap Ghofur mencoba memulai memberikan bimbingan
keagamaannya. “Sudah mas? Kamu itu emangnya siapa ? Saudara saya bukan,
tetanggapun bukan, berani benar menasehati saya!” ujar Romi kesal.
Ghofur terkejut mendengar sambutan yang tidak bersahabat dari pasien
baru itu, ia tidak menyangka seorang pasien yang tekulai lemah tanpa
daya masih menunjukan kesombongannya di hadapan orang lain, terlebih
dihadapan oang yang berniat membantu memberikan bimbingan keagamaan
kepadanya. “Saya hanya hamba Allah yang kebetulan di tugaskan memberikan
bimbingan keagamaan kepada setiap pasien yang beragama Islam. Saya
hanya menginginkan setiap pasien merasa tentan dan nyaman hatinya
meskipun sedang sakit,” Jawab Ghofur merendah.
“Mana ada orang sakit
yang tenteram dan nyaman, kalau orang macam begitu ‘sok memberikan
nasehat seperti itu. Kalau kamu mau berkhotbah di masjid, jangan
bawa-banwa khotbah kesini!”. Ujar Romi dengan marahnya. Ghofur tidak
dapat berbuat apa-apa lagi. Ia hanya dapat bersabar sambil tidak
berhenti-hentinya mengucapkan istighfar dalam hati.
“Baiklah
kalau anda merasa terganggu dengan kehadiran saya, saya minta maaf. Saya
hanya bisa mendo’akan semoga anda lekas embuh”, ucap Ghofur mengakhiri
percakapan diantara mereka. Ghofurpun berlalu meninggalkan lelaki yang
tampak masih kesal itu.
Rupanya sakit yang diderita oleh Romi
terbilang sudah sangat parah, sehingga peluang untuk sembuh sangat
kecil. Bahkan, satu minggu setelah kedatanganya di rumah sakit, sakit
Romi akhirnya tidak bisa ditolong lagi. Pada siang yang panas itu, Romi
harus berjuang menghadapi pedih dan sakitnya sakratul maut.
Beberapa perawat (suster) dan keluarga Romi ikut membantu menemani Romi
menghadapi sakratul maut. Tidak ketinggalan, Ghofur juga di tugaskan
membimbing lelaki itu mengajarkan kalimat-kaliamat talkin, agar sakratul
maut yang dihadapinya bisa lebih mudah. “Laa ilaaha illallah, laa
ilaaha illallah…,” bisik Ghofur berulang-ulang ditelinga Romi. Para
perawat dan keluarga Romi ikut membimbing Romi mengucapkan talkin.
Romi Tak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya mengerang menahan sakit dengan
membuka mulut lebar-lebar, seolah menjerit kesakitan. Begitupula
matanya membelalak terbuka lebar, seperti orang yang sangat ketakutan.
“Nyebut-nyebut, Rom. Nyebut!” Ujar ibunya meminta anaknya menyebut
kalimat-kalimat talkin. “Laa ilaaha illallah, laa ilaaha illallah…”
Ghofur terus membisikan talkin di telinga Romi.
Meskipun orang
disekeliling Romi terus berusaha mengajarinya mengucapkan talkin, tetapi
Romi tetap saja tidak mampu mengucapkannya. Dari mulutnya hanya
terdengar erangan-erangan berat menahan rasa sakit yang amat sangat.
Waktu terus berlalu, setelah beberapa jam menahan pedihnya sakratul
maut, akhirnya Romi menghebuskan nafas terakhirnya, dengan erangan
panjang yang sangat memiriskan hati orang-orang yang melihat dan
mendengarnya.
“hhhrrrrrrggggggghhhhh….!” Suara erangan panjang
dari suara Romi. “Alhamdulillah…” Ucap Ghofur dan para perawat
menunjukan rasa syukur atas berakhirnya penderitaan yang dialami Romi
dalam menghadapi sakratul maut.
Ghofur segera mengusap wajah
Romi untuk menutup matanya yang masih terbelalak lebar. Para perawatpun
mulai sibuk membuka pipa oksigen yang terpasang di hidungnya dan pipa
infus yang terpasang di tangnnya. Semua orang yang hadir di ruangan itu
yakin kalau Romi memang sudah meninggal.
Setelah semua
peralatan yang semula terpasang di tubuh Romi di lepas para perawat
segera meninggalkan ruangan. Sementra itu Ghofur segera menutup jasad
Romi dengan kain putih, menunggu ambulan yang akan membawanya setelah
keluarga Romi mengurusi semua biaya perawatan Romi di rumah sakit
tersebut.
Kira-kira sepulu menit setelah melepas nafas
terakhirnya, tiba-tiba tubuh Romi yang tertutp kain putih itu
bergerak-gerak kembali. Ghofur dan keluarga Romi yang kebetulan masih
berada di ruang itu terkejut bukan kepalang.
Ghafur setelah
mendatangi tubuh yang dikiranya sudah mati itu. Ia membuka kain putih
penutup tubuh Romi yang kesakitan menahan pedihnya sakratul maut pertama
tadi. Ghafur terheran-heran, sebab ia yakin tadi Romi benar-benar sudah
meninggal.
Pengalamannya selama ini dalam membimbing orang
sekarat telah membuatnya hapal benar, bagaimana keadaan ornag yang
melepaskan nafas terakhirnya dan mati. Tetapi kini keajaiban telah
terjadi di depan matanya.
Ghafur segerah memanggil para perawat
dengan menekan tombol yang ada di dingding ruang itu. “Dia hidup lagi,”
Kata Ghafur kepada para perawat yang tergesa-gesa masuk ruangan. Para
perawat segera memasangkan kembali pipa infus dan oksigen ketangan dan
kemulut Romi. Ghafur kembali membimbing Romi dengan membisikan kalimat
Talkin ke telinga lelaki yang kesakitan itu.
“Laa illaha
illallah, laa ilaaha illallah…” bisik Ghafur berulang-ulang. Kelaurga
Romipun ikut membantu membimbing mengucapkan kaliamt-kalimat talkin.
Akan tetapi, Romi tetap saja tidak mampu mengucapkannya. Ia hanya terus
engerang, menahan rasa pedih yang sungguh menyakitkan. Mata dan mulutnya
terbuka lebar.
Ibu Romi tidak dapat menahan tangisnya menyaksilan
anaknya menderita kesakitan menghadapi sakratul maut. Wanita itu menatap
anaknya dengan tatapan sayu sambil sekali-kali menyeka air mata yang
terus merembes di sudut matanya.
“Hhhhrrrgggrgrggggghhhhh…”
Orang yang hadir di ruangan itu merasa lega melihat Romi mengakhiri
penderitaan sakratul mautnya. Ghofur dan para perawat memeriksa dengan
teliti tubuh Romi untuk memastikan keadaan Romi yang sebenarnya.
Ternyatan secara medis Romi memang sudah tidak bernyawa. Tetapi para
perawat tidak mau mencabut dulu pipa infus dan oksigen yang menempel di
tubuh Romi, karena khawatir kalau-kalau kejadian seperti tadi terulang
lagi.
Akhirnya jasad Romi dibiarkan beberapa saat di tempat
tidurnya. Kurang lebih sepuluh menit kemudian, jasad itu bergerak-gerak
kembali, seolah ada ruh baru yang dimasukan kembali ke jasad yang sudah
meninggal itu. Orang-orang yang hadir di ruangan itu segera mengerumuni
jasad Romi lagi, mereka kembali membimbing Romi yang kesakitan. Setelah
lebih dari dua jam, Jasad Romi baru bisa mengembuskan nafasnya yang
terakhir.
Ghofur dan para perawat kembali memeriksa kondisi
jasad Romi, Setelah memastikan jasad itu sudah meninggal, mereka
membiarkan lagi jasad itu tergeletak di atas tempat tidurnya. Mereka
tetap khawatir kalau-kalau jasad itu bergerak kembali.
Ternyata
dugaan mereka benar. Setelah sepuluh menit dibiarkan, lagi-lagi jasad
Romi bergerak dan mulutnya mengerang kesakitan. Persis kejadian
sebelumnya, orang-orang disekitar ruangan itu berusaha membimbing Romi,
tapi Romi tetap saja menahan kesakitan. Dua jam kemudian Romi
benar-benar menghembuskan nafasnya yang terakhir, setelah empat kali
merasakan pedihnya sakratul maut.
Jasad Romipun dibiarkan di
tempat tidurnya, mereka khawatir kalau-kalau jasad Romi kembali
bergerak. Tetapi setelah berjam-jam dibiarkan dan tidak bergerak
kembali, para perawat segera mencabut pipa infus dan oksigen dari tangan
dan mulut Romi.
Ghofur yang sudah berpengalaman menangani
orang-orang yang sedang sakratul maut, yakin kalau kejadian yang baru
saja disaksikan merupakan kehendak Allah atas perbuatan yang dilakukan
Romi selama masa hidupnya. Ghofur tahu, biasanya keadaan sakratul maut
seseorang menjadi cermin dari perbuatan semasa hidup. Karena itu Ghofur
ingin sekali mengetahui
bagaimana kehidupan Romi semasa hidupnya.
Sebelum keluarga Romi membawa jasad Romi pulang ke rumahnya, Ghofur sempat mendatangi keluarga Romi.
Kepada mereka Ghofur terus terang bertanya apa yang telah dilakuakan
oleh Romi sehinga ia harus mengalami penderitaan yang bergitu berat
dalam menghadapi sakratul maut.
Kepada Ghofur akhirnya salah seorang
kelaurga Romi menceritakan bahwa anaknya selama hidupnya penuh dengan
perbuatan maksiat. Setiap hari anaknya mencari uang dengan cara memaksa
orang-orang di pasar untuk memberikan uang kepadanya. Hampir semua orang
dipasar takut kepadanya. Selain itu juga anaknya suka berjudi dan
mabuk-mabukan. Setiap malam, anaknya menghabiskan waktunya di meja judi
ilegal dibelakang pasar, dan pulang ke rumah dalam keadaan mabuk
berat.
Dari cerita yang diuangkapakan oleh keluarga Romi itulah kini Ghofur
tahu apa yang selama hidupnya dikerjakan oleh Romi. Maka tidak heran
jika ketika menghadapi sakratul maut, ia merasakan kepedihan yang amat
sangat, kerena harus merasakan ruhnya di cabut sebanyak empat kali.
Semoga kisah tersebut memberikan iktibar atau pelajaran bagi kita semua. اَمِيـْنْ يَـارَبَّ الْعَـالَمِيْــ
Wallahu a'lam bishawab
Disandur dari : Majalah Hidayah, Rubrik kisah nyata, Edisi Februari 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar